WELCOME TO BUDDHISM NETWORK Buddhism Network

Kamis, 10 Februari 2011

Hari Valentine


Hari Valentine (bahasa InggrisValentine's Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Asal-muasalnya yang gelap sebagai sebuah hari raya Katolik Roma didiskusikan di artikel Santo Valentinus. Beberapa pembaca mungkin ingin membaca entri Valentinius pula. Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhirAbad Pertengahan ketika konsep-konsep macam ini diciptakan.
Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.
Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.
Sebuah kencan pada hari Valentine seringkali dianggap bahwa pasangan yang sedang kencan terlibat dalam sebuah relasi serius. Sebenarnya valentine itu Merupakan hari Percintaan, bukan hanya kepada Pacar ataupun kekasih, Valentine merupakan hari terbesar dalam soal Percintaan dan bukan berarti selain valentine tidak merasakan cinta.
Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik "Happy Valentine's", yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka, ataupun, teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya.

Sumber:


Tuhan dalam Agama Buddha



                Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga ciptaan Tuhan yang kekal.
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Rabu, 09 Februari 2011

ASAL MULA PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA KEMBALI


Oleh, Yogi Gunawaro
10 feb 2011
  1. Ditemukan Prasasti dan Ruphang Buddha (Abad ke-4)
    Sebuah Prasasti berasal dari abad ke-4 dekat bukit meriam di kedah, sebuah lempengan batu berwarna ditemukan di satu puing rumah bata yang diperkirakan mungkin merupakan kamar bhiksu Buddha. Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam bahasa Sanskerta ditulis dengan huruf abjad Pallawa tertua. Tulisan yang kedua dari lempengan batu tersebut berbunyi : " Karma bertambah banyak karena kurang pengetahuan dharma Karma menjadi sebab tumimbal lahir Melalui pengetahuan dharma menjadikan akibat tiada karma Dengan tiada karma maka tiada tumibal lahir." Bukti-bukti tertua dikatakan sekitar tahun 400 M., di Kalimantan Timur, dilembah-lembah Sungai Kapuas Mahakam dan Rata, terdapat tanda-tanda lain dari pengaruh India terlihat dalam bentuk patung Buddha dalam gaya Gupta. Sebelum abad ke-5, di Kedah Sulawesi, Jawa Timur dan Palembang, patung-patung Buddha gaya Amaravati ditemukan (ini dihubungkan dengan tempat-tempat tertua, Amarawati di Sungai Kitsna kira-kira 80 mil dari pantai timur India, adalah negeri aliran besar patung Buddha yang berkembang dari tahun 150 sampai 250 M.), namun adanya negara Buddha di daerah-daerah itu belum ada yang mengetahui tentang kemungkinannya. Sebuah kerajaan bernama Kan-to-li juga disebut oleh orang-orang tionghoa. Tahun 502 seorang Raja Buddha telah memerintah di sana dan tahun 519 putra raja Vijayavarman mengirim utusan ke Tiongkok. Kerajaan ini diperkirakan berada di Sumatera.
  2. Keluarga Syailendra pada zaman Crivijaya (Sriwijaya)
    Sekilas asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Crivijaya di pulau Suvarnadvipa (Sumatera) oleh keluarga Syailendra pada abad ke-7. Berapa lama Crivijaya telah ada sebelum itu masih merupakan suatu terkaan. Letak kerajaan Crivijaya di Sumatera Selatan mungkin sekali di Minangatamwan di daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri (sekitar Palembang). Catatan-catatan berharga berupa prasasti-prasasti bila dikumpulkan menunjukkan adanya kerajaan kerajaan Buddha di Palembang. Prasasti-prasasti itu adalah : Prasasti yang tertua ialah Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang) yang dapat dipastikan tahun Caka (=13 April 683) menceritakan perjalanan suci Dapunta Hyang berangkat dari Minangatamwan. Prasasti yang ke-2 ialah Prasasti Talang Tuo (dekat Palembang) yang memperingati dan pembuatan taman Criksetra (taman umum) didirikan tahun 684 atas perintah Raja Dapunta Hyang Crijayanaca sebagai kebajikan Buddha untuk kemakmuran semua makhluk. Semua harapan dan doa dalam prasasti itu jelas sekali menunjukkan sifat Agama Buddha Mahayana. Prasasti yang ke-3 didapatkan di Telaga Batu tidak berangka tahun. Di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertuliskan Siddhayatra (=Perjalanan Suci yang berhasil) dan dari Bukit Siguntang di sebelah Barat Palembang ditemukan sebuah arca Buddha dari batu yang besar sekali berasal dari sekitar abad ke-6. Prasasti ke-4 dari Kotakapur (Bangka) dan yang ke-5 dari Karang Berahi (daerah Jambi hulu), keduanya berangka tahun 686 M. Gambaran yang paling penting dari kebudayaan zaman Syailendra adalah unsur vitalitas dan potensi Indonesianya. Di dalam kesusasteraan kecenderungan ini terlihat dalam terjemahan Jawa kuno dari karya berbahasa Sansekerta, Amaramala, diterbitkan dengan nama Jitendra tercantum di dalam awal karya ini.
  3. I-Tsing dua kali datang ke Srivijaya
    I-Tsing (634-713) seorang peziarah Buddha dari negeri Tiongkok yang terkenal dalam perjalanannya ke India pada tahun 671. Dia mengatakan, dia berlayar dari negeri Tiongkok ke Crivijaya dengan kapal saudagar Persia. Pelayaran selanjutnya ke India dengan kapal Raja Crivijaya. Di Crivijaya sebelum pergi ke India ia belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Ini membuktikan betapa pentingnya Crivijaya sebagai pusat untuk mempelajari Agama Buddha Mahayana pada waktu itu. Ia mengatakan di Crivijaya ada lebih dari 1000 biksu, aturan dan tata upacara mereka sama dengan di India demikian juga Agama Buddha Mahayana yang ada di negeri Tiongkok. Tahun 685 I-Tsing setelah belajar selama 10 tahun di Universitas Buddha Nalanda di Benggala, ia kembali ke Crivijaya dan tinggal di sana sekitar 4 tahun untuk menterjemahkan teks Agama Buddha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Ia juga mencatat Vinaya dari Sekte Sarvastivada. Tahun 689 karena keperluan mendesak akan alat-alat tulis dan pembantu, ia pulang ke Canton Selatan, kemudian ia kembali ke Crivijaya dengan 4 orang teman dan tinggal di sana untuk merampungkan memoirnya tentang Agama Buddha pada masanya. Memoir ini diselesaikan dan dikirim ke Tiongkok tahun 692, dan tahun 695 ia kembali ke Tiongkok. Bersamaan waktu dengan I-Tsing juga teman-temannya dari Tiongkok sebanyak 41 bhiksu yang mahasiswa datang belajar Agama Buddha Mahayana di Crivijaya. Adalah sangat disayangkan bahwa tidak terdapat peninggalan buku-buku Agama Buddha Mahayana dari Zaman Crivijaya sebagai pusat pendidikan Agama Buddha yang bernilai internasional pada masa itu.
  4. Atisa (982-1054) di Srivijaya
    Karena Crivijaya menjadi pusat pendidikan Agama Buddha yang bernilai Internasional, banyak para pandita dari India juga datang ke Crivijaya untuk belajar Buddha Dharma juga disiplin ilmu lainnya, dimana Atisa, seorang bangsawan dari Benggala lahir tahun 982, datang ke Crivijaya untuk belajar filosofi dan logika Agama Buddha Mahayana selama 12 tahun di sini (1011-1023). Atisa berguru kepada Dharmakirti, pendeta tertinggi di Suvarnadvipa yang tergolong ahli terbesar pada zaman itu. Raja Dharmapala yang memerintah pada waktu itu memberikan sebuah Kitab Suci Agama Buddha kepada Atisa. Setelah Atisa kembali ke India, dia ditunjuk sebagai Kepala di Vikramasila atau Nalanda. Bahkan UNESCO dalam usaha pemugaran kembali monumen Borobudur di Indonesia bersamaan waktu dengan peringatan 1000 tahun kelahiran Atisa. Riwayat hidup Atisa di Tibet menyebut Sumatera sebagai pusat terbesar pada masa itu. Tahun 1042 Atisa tiba di Tibet dan tinggal di sana sampai dengan beliau meninggal di Nye-Thang tahun 1054.

SEPUTAR PENGGUNAAN AKSARA PALI



Oleh, Yogi Gunawaro
Sumber Paritta Suci Yayasan Sangha Theravada Indonesia

* Aksara Hidup atau Vokal

Aksara hidup atau vocal dalam Bahasa Pãli berjumlah 8 buah, yang menurut panjang pendeknya di bedakan menjadi dua,

-Vokal Pendek  : a,i,u.
-Vokal Panjang  : ã,ī,ū,e,o.

Pelafalan vokal pendek dan panjang dalam bahasa pãli bisa diperbandingkan dengan pendek panjangnya vokal di atas.

*Aksara Mati atau Konsonan

Aksara mati dalam bahasa pãli berjumlah 33 buah, yakni:
K   kh  g  gh    c  ch  j  jh  ň
  h    h  ņ  t  th  d  dh  n
p  ph  b  bh  m
y  r  l  v  s  h  ļ  
  • ·        konsonan: kh, gh, ch, jh, ṭh, ḑh, th, dh, ph, adalah suatu konsonan tunggal, bukan dua konsonan terpisah. Pelafalannya dibuat lebih kasar daripada pelafalan konsonan yang sama di atas tanpa diikuti h.
    ·         Konsonan yang bertanda titik bawah, yakni: ṭ, ṭh, ḑ, ḑh, ņ dan ļ ber-artikulasi di daerah depan lidah (daerah di antara tengah dan ujung lidah). Pelafalannya menyentuhkan daerah depan lidah tersebut ke daerah depan langit-langit (daerah antara tengah langit-langit dan pangkal gigi atas).
    ·         Contoh: Kuthuk (kuṭuk) yang berarti anak ayam dalam bahasa jawa berbeda dengan kutuk yang berarti serapah
    ·         Konsonan t, th, d, dh dan n kelimanya ber-artikulasi di ujung lidah. Pelafalannya dengan menyentuhkan ujung lidah tersebut ke daerah gigi depan. Contoh: pembunyian kata Wedi yang berarti takut berbeda dengan kata Wedhi (weḑi) yang berarti pasir; keduanya dalam bahasa jawa.
    ·         Aksara ṅ dan ṁ, terlafalkan ng; dan ṅg terlafalkan ngg. Contoh: Saṅkhãrã dibaca: Sang-khã-rã. Sukhaṁ: dibaca Su-khang. Ãnguttara: dibaca ang-gut-ta-ra.
    ·         Aksara ň terhafalkan ny; dan ňň terlafalkan nny. Contoh: Ňãņa dibaca: nyã-ņa.Paňňã dibaca: pan-nyã.
    ·         Konsonan h yang terletak setelah konsonan lain dilafalkan bersamaan dengan konsonan tersebut. Contoh: Mayhaṁ dibaca may-(y)haṁ; tumhaṁ dibaca tum-(m)haṁ, dsb.
    ·         Konsonan v dilafalkan seperti konsonan w, bukan f.
    ·         Pada satu suku kata berkonsonan akhir, aksara akhir tetap diusahakan dilafalkan. Contoh: Buddhaṁ dibaca: Bud-dhang bukan bu-dhang.